Jumat, 27 April 2012

Transliterasi Arab- Latin dalam katalogisasi literatur berbahasa Arab

  Transliterasi Arab-Latin
Kaelani (2003) mengungkapkan bahwa transliterasi perlu mendapatkan perhatian tersendiri, sebab suatu bahan pustaka yang berasal dari terjemahan tidak semua bahasanya telah menjadi bahasa baku Indonesia. Untuk itu, transliterasi menjebatani antara ketidak bakuan itu, dengan acuan yang telah disepakati. Hal ini akan mempunyai konsekuensi dalam penjajaran.[1]
Misalnya :        “HADIS” bukan “HADIST”
                        “QUR’AN” bukan “QURAN” atau “ALQURAN
Tujuan transliterasi dalam pengkatalogan adalah agar teks dalam tulisan lain dapat disalin dengan menggunakan mesin tik atau alat lain yang hanya menyediakan huruf-huruf latin yang mungkin hanya dengan menambah tanda-tanda diakritik.

1.        Definisi transliterasi
KBBI (1999:1071) menyebutkan bahwa transliterasi adalah penyalinan dengan penggantian Huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain.
Daily dalam encyclopedia of library and information science Mengartikan kata-kata transliterasi sebagai mengganti alfabet dengan alfabet lain atau mengganti syllabary dengan alfabet. Syllabary (silabari) yang dimaksud adalah cara penulisan yang terdapat pada bahasa jepang atau bahasa amhari, yaitu satu set lambang tertulis yang digunakan untuk mewakili bunyi berupa suku kata dari kata-kata dari suatau bahasa. Oleh sebab itu, sistem penulisan semacam  ini bisa juga disebut sistem aksara suku kata. Satu aksara mewakili bunyi suku kata. [2]
            Dalam pedoman transliterasi Departemen Agama tahun 2003 Transliterasi dimaksudkan sebagai pengalih hurufan dari abjad yang satu ke abjad yang lain. Transliterasi arab-latin disini adalah penyalinan huruf-huruf arab dengan huruf-huruf latin beserta perangkatnya.  [3]
Spalding mengartikan Romanization sebagai istilah umum bagi pemindahan nama atau teks tertulis menurut penulisan non-Roman ke huruf-huruf alfabet Romawi. Menurutnya, transliterasi adalah metode untuk romanisasi, yaitu mengganti huruf yang ditulis dalam alfabet non-Roman dengan alfabet romawi (huruf latin), huruf demi huruf sesuai dengan tabel yang ada, satu huruf dengan satu huruf atau lebih, atau satu huruf ditambah tanda diakritik. Metode lain dalam romanisasi menurut Spalding adalah transkripsi, yaitu mengganti sistem penulisan dari bahasa tertentu ke sistem lain sesuai dengan bunyi yang dilafalkan menurut ejaan tertentu. 
Peter salim, mengartikan kata transliterated, transliterating, transliterates dengan: menulis suatu bahasa dengan suatu bahasa lain, mengubah hurufnya. Sedang kata transliteration diartikan dengan: penulisan dengan huruf bahasa lain, perubahan huruf. Arti lain, perubahan huruf. Arti lain adalah lambing bunnyi, fonem atau kata dalam sistem penulisan atau lambing yang ditentukan menurut aturan tata bahasa. Adapun transcription diartikan dengan penyalinan lambing bunyi. [4]
2.        Pedoman transliterasi dalam pengkatalogan
Pedoman transliterasi adalah tabel yang menunjukan penggantian huruf tertentu dengan huruf lain, sehingga memungkinkan penggantian itu dilakukan secara taat asas. Maka transliterasi yang menggunakan pedoman sering juga disebut systematic transliteration (transliterasi sistematik) dan pedoman disebut bagan, tabel dan skema transliterasi.
Transliterasi arab latin memang dipelajari oleh bangsa Indonesia karena huruf arab dipergunakan untuk menuliskan kitab suci agama Islam berikut penjelasannya (Al-Qur’an dan hadis), sementara bangsa Indonesia menggunakan huruf latin untuk menuliskan bahasanya. Karena ketiadaan pedoman yang baku, yang dapt dipergunakan oleh umat Islam di Indonesia yang merupakan mayoritas bangsa Indonesia, transliterasi Arab Indonesia banyak ragamnya.
Pada tahun 1976 Wellisch melaporkan hasil surveinya mengenai transliterasi di perpustakaan seluruh dunia. Diantara laporannya disebutkan pedoman transliterasi yang cukup luas daerah pemakaiannya. Sesuai dengan urutannya, pedoman transliterasi yang banyak digunakan di perpustakaan di seluruh dunia adalah sebagai berikut:[5]
a.    Pedoman yang diterbitkan perpustakaan Nasional Amerika Serikat (library of congress). Selanjtnya disebut pedoman LC
b.    Pedoman yang dibuat masinng-masing perpustakaan (selanjutnya disebut pedoman yang tidak disebutkan)
c.    Pedoman dari internasional for standardization (untuk selanjutnya disebut pedoman ISO)
d.   Preussiche Intruktionen (untuk selanjutnya disebut PI)
Selain dari pedoman tersebut, pedoman yang telah ada antara lain:
a.         Pedoman transliterasi menurut Encyclopedia of islam,
b.        pedoman transliterasi menurut Departemen Agama 1953
c.         Pedoman transliterasi menurut Departemen Agama 1974
d.        Pedoman transliterasi menurut MBIM (Majelis Bahasa Indonesia- Malaysia) yang ditetapkan dalam siding ke- 8 di Cisarua Bogor 9-13 Agustus 1976
e.         Pedoman transliterasi menurut IAIN Jakarta 1980 dalam lampiran surat keputusan Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta Nomor 6 th 1980
f.         Pedoman transliterasi menurut LIPPM (Lembaga Islam untuk penelitian dan pengembangan Masyarakat).
Setiap penulisan transliterasi memilki sistem alih tulisan yang berbeda-beda. Misalnya saja dalam transliterasi ﺍﻟﻤﺴﺟﺪﺍﻷﻗﺻﻰmasih beragam. Ada yang menulis Al Aqsha, Al Aqsa, Al- Aqsho, Al Aqso, Al-Aqsa, Al-Aqsha, Al-aqsha, al-Aqsha, Aqsha, Aqsho, dan seterusnya. Kebanyakan penerbit menulis Al-Aqsha atau al-Aqsha, belum lagi apabila kata tersebut digabung dengan kata sebelumnya ﺍﻟﻤﺴﺟﺪ tentunya akan semakin beragam.[6] Perihal mana yang benar, tentu perlu adanya kesepakatan pedoman transliterasi yang dipakai. Jika sebuah perpustakaan tidak mempunyai pedoman transliterasi yang jelas, maka akan mengakibatkan hasil dari alih tulisan menjadi asal-asalan. Tentunya hal ini akan menyusahkan baik pustakawan maupun pemustaka sendiri saat temu kembali informasi atau saat menelusur informasi buku-buku berbahasa arab.
Permasalahan transliterasi arab-latin dalam katalogisasi literatur berbahasa arab
1. Permasalahan terhadap sistem pedoman transliterasi Arab-Latin
a.  Adanya keterbatasan program komputer terhadap sistem alih tulisan Arab-latin, karena sistem transliterasi menggunakan tanda diakritik. Tanda diakritik merupakan tanda yang digunakan atau tanda yang ditambahkan pada huruf latin/ penambahan tanda khusus pada huruf latin. Misalnya ( ) ditransliterasi menjadi (sad) penulisan huruf “S” (dengan titik dibawah), ( ) ditransliterasi menjadi (ta) penulisan huruf “T” (dengan titik dibawah). Tanda diakritik ini menyulitkan kataloger dan dianggap tidak praktis karena dalam keyboard atau program komputer belum bisa untuk menulis tanda-tanda tersebut.
b.   Ketidak patuhan atau ketidak taat asasan terhadap pedoman transliterasi yang digunakan perpustakaan mengakibatkan sistem alih tulisan yang berbeda-beda untuk satu judul literatur berbahasa arab yang sama. Terlebih lagi apabila literatur tersebut dikatalogisasi atau ditransletirasi oleh lebih dari satu orang atau lebih.
2.   Permasalahan terhadap sistem temu kembali informasi (OPAC) karena ketidak seragaman transliterasi
a.   Sulit untuk menemukan satu judul yang sama dengan apa yang diinginkan oleh pemustaka atau menyatukan antara sistem dan pemustaka padahal apa yang dimaksud oleh pemustaka sebenarnya terdapat didalam sistem. Hal ini mungkin disebabkan karena pemustaka hanya mengetik kata dari judul bahan pustaka sesuai apa yang diinginkan karena tidak tau akan sistem alih tulisan yang digunakan perpustakaan atau memang sistem alih tulisan didalam sistem tidak seragam.
b.    Adanya ketidak seragaman transliterasi, pemustaka harus mengetik beberapa kata berulang-ulang yang mungkin sesuai dengan apa yang dimaksud dalam katalog perpustakaan sehingga pencarian dirasa kurang efektif. 


[1] Wiji Suwarno. 2010. Dasar- dasar ilmu perpustakaan. Jogjakarta: Ar-Ruzz. Hal.54
[2] Rizal Saiful Haq. 2005. Transliterasi aksara arab dalam pengkatalogan. Jurnal al-Turas. Vol. 11. No. 3 September. Hal. 244
[3] Departemen Agama RI. 2003. Pedoman transliterasi Arab-Latin: Keputusan bersama Mentri Agama dan mentri P dan K nomor: 158 tahun 1987; nomor: 0543/ u/ 198. Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, proyek pengkajian dan pengembangan lektur Pendidikan Agama. Hal.

[4] Dadan Darusman. 2005. Permasalahan katalogisasi deskriptif kitab kuning pada perpustakaan di Indonesia. Skripsi S1 Jurusan ilmu Perpustakaan, Fakultas adab dan Humaniora UIN Syarif Hidaatullah Jakarta. Hal. 74
[5] Rizal Saiful Haq. 2005. Transliterasi aksara arab dalam pengkatalogan. Jurnal al-Turas. Vol. 11. No. 3 September. Hal.245
[6] M. Zaka Al Farisi. 2011. Pedoman penerjemahan arab Indonesia. Bandung: Remaja Rosda Karya. Hal 63

Kamis, 26 April 2012

Katalogisasi literatur berbahasa Arab 
A.      Katalogisasi
Makin besarnya koleksi yang dimiliki semakin perlu pula pemberian ciri (characterization) kepada semua dokumen melalui proses analisis yang disebut dengan katalogisasi. Dalam proses ini, setiap dokumen dibuatkan wakilnya yang disebut entri katalog. Setiap entri memuat deskripsi bibliografi yang mencantumkan ciri-ciri dokumen, seperti: pengarang, judul dan subjek, ciri fisik dan lainnya.
Katalogisasi merupakan proses kegiatan pembuatan katalog. Secara umum, katalogisasi dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu, katalogisasi deskriptif dan katalogisasi subjek. Dalam katalogisasi deskriptif yang menjadi sasaran adalah pengolahan entri utama dari sebuah buku dan hasilnya dicantumkan dalam katalog. Yang dimaksud entri utama adalah uraian katalog yang dibuat pertama kali, terdiri atas tajuk dan unsur-unsur katalog lainnya. Tajuk biasanya berupa nama pengarang. Dalam katalogisasi subjek, yang menjadi sasaran adalah penentuan entri subjek sebuah buku baik berupa subjek verbal maupun notasi klasifikasi dan hasilnya dicantumkan dalam katalog. Jadi, kedua jenis kegiatan ini menghasilkan sebuah katalog.[1]
Katalog perpustakaan, pada dasarnya mempunyai dua fungsi. Pertama, berfungsi sebagai daftar inventaris bahan pustaka dari suatu atau kelompok perpustakaan. Kedua berfungsi sebagai sarana temu balik bahan perpustakaan. Sebagai daftar inventaris, katalog perpustakaan berarti merupakan daftar kekayaan yang dimiliki perpustakaan, terutama menyangkut bahan-bahan pustaka yang tersedia. Sedangkan sebagai sarana temu balik bahan pustaka, katalog perpustakaan berarti alat atau media untuk mencari dan menemukan bahan pustaka yang dibutuhkan oleh pengunjung perpustakaan secara cepat. Fungsi yang kedua tersebut merupakan fungsi utama dari katalog perpustakaan. [2]
B.       Penentuan bentuk tajuk kepengarangan
Yang dimaksud tajuk atau heading adalah kata-kata pertama yang terdapat dalam entri katalog sebagai dasar penyusunan katalog. Menentukan bentuk tajuk adalah mencatat nama pengarang dalam tajuk. Pekerjaan ini meliputi penentuan kata utama nama pengarang dan bagian-bagian nama lainnya yang perlu dicatat dalam tajuk. Pada dasarnya menentukan kata utama nama pengarang ini berkaitan erat dengan sistem nama dan kebudayaan suku bangsa yang bersangkutan. Dengan demikian akan menyangkut nama-nama dalam kepengarangan yang sangat beraneka ragam bentuknya. Dari konferensi Paris th. 1961 tantang prinsip-prinsip katalogisasi deskriptif, berhasil disusun berbagai ketentuan yang menyangkut penentuan tajuk dan bentuk tajuk. Peraturan ini kemudian lebih dikenal dengan “the Anglo American Cataloging Rules (AACR)”[3]
1.        Kegunaaan nama pengarang dalam katalog
Untuk penelusuran informasi literer, nama pengarang digunakan untuk:
a.         Menyususn bentuk tajuk yang sama dari karya-karya seorang pengarang
b.        Mengetahui karya apa saja dari seorang pengarang terdapat di perpustakaan
c.         Membuat tajuk entri utama maupun entri tambahan nama pengarang
2.         Berbagai jenis kepengarangan untuk menentukan tajuk
Untuk menentukan tajuk nama orang, bahan pustaka yang ditinjau menurut kepengarangannya (authorship). Analisis ini menghasilkan bermacam-macam karya pengarang sebagai berikut: Karya pengarang tunggal (single authorship), yaitu buku yang ditulis seorang pengarang tanpa bantuan pengarang lain.
a.         Karya pengarang ganda (multiple/ shared authorship) yaitu buku yang ditulis lebih dari satu orang pengarang, baik secara terintegrasi maupun terpisah sebagai suatu karya kumpulan
b.        Karya editor yaitu buku yang ditulis oleh satu atau beberapa orang pengarang dan disunting oleh editor yang bertanggungjawab menerbitkannya.
c.         Karya anonym, yaitu suatu karya yang tidak jelas atau tidak diketahui nama penulisnya
d.        Karya kumpulan yaitu, karya yang berasal dari beberapa penulis dan diterbitkan oleh  si pengumpul (compiler) tanpa melalui proses penyuntingan.
e.         Karya campuran, yaitu suatu karya yang berasal dari rekayasa berbagai pihak, misalnya pengarang, penerjemah, ilustrator, dan editor.
C.      Penentuan nama pengarang dan kata utama literatur berbahasa arab
Pemberian nama pada setiap anak yang dilahirkan akan disesuaikan dengan bahasa dan kebudayaan dimana dia lahir. Setiap bangsa akan memiliki pola yang berbeda dalam memberikan nama. Begitu pula yang terjadi pada nama-nama Arab. Mayoritas penduduk bangsa Arab memeluk agama Islam. Pengaruh Islam sangat kuat dalam kehidupan bangsa Arab. Agama Islam yang dibawa nabi Muhamad Saw. Th. 610M membawa perubahan besar bagi bangsa arab. Pola nama Arab, sebagai bagian dari kebudayaan Arab, mengalami perkembangan dan perubahan sehubungan dengan interaksi budaya Arab dengan kebudayaan luar dan juga perkembangan internal masyarakat tersebut. Nama-nama periode sebelum Islam, mengalami perubahan sejak kerasulan Muhammad SAW. Kemudian ketika wilayah Islam semakin meluas dan terjadi dialog dan interaksi dengan budaya Yunani, Persia, dan Afrika, nama-nama Arab juga mengalami perubahan. Kemudian, pada saat imperialisme Barat terhadap Timur Tengah, nama-nama Arab kembali mengalami perubahan bentuk dan pola.
D.      Unsur-unsur nama Arab
Nama-nama orang Arab termasuk dalam kategori nama yang cukup rumit dan banyak variasinya sekali. Seseorang bisa memiliki lebih dari tiga nama sekaligus yang terdiri dari nama diri, kunyah ( nama yang menunjukan hubungan keluarga), atau Nisbah (nama yang menunjukkan asal dari pemilik nama itu).
Memperbincangkan karakteristik nama-nama Arab adalah kesulitan tersendiri, karena di dalamnya termuat berbagai unsur, pola, dialek dan pengucapan (pronounciation), dan juga masalah transiletarasi (romanization). Di lihat dari unsurnya, nama-nama Arab sebagaimana dikemukakan Kailani (1985), terdiri dari ism (nama diri), kunyah (nama tambahan yang menunjukkan nama keluarga), dan laqab (julukan). Sedangkan pola nama Arab dapat merupakan variasi dari gabungan ketiga unsur tersebut atau juga dapat merupakan salah satu unsur saja. Berikut unsur-unsur nama arab menurut Kailani:
1.        Ism (Nama lahir/given name)
Pada masa pra Islam, Littmann sebagaimana dikutip oleh Sheniti (1961) mengemukakan bahwa banyak nama-nama Arab yang diasosiasikan dengan nama Tuhan yang menjadi kepercayaan mereka. Setelah masa Islam, nama-nama kebanyakan berubah menggunakan nama Muhammad (atau Ahmad), nabinya umat Islam, dan nama-nama nabi sebelumnya. Juga banyak digunakan nama-nama yang didahului dengan kata Abd dan nama-nama Allah yang termasuk asma’ al husna. Qalqasyandi, dalam Kailani(1985) menyatakan bahwa pada masa pra Islam, bangsa Arab tidak mempunyai pedoman tertentu dalam menetapkan ism. Kebanyakan ism berasal dari khayalan mereka yang bersifat sangat pribadi, dan oleh karena itu sangat beraneka ragam bentuknya. Tata cara ini kemudian mengalami perubahan setelah Islam datang.
Contoh Ism :
Muhammad,
Ahmad,
Salman,
Mahmud
2.        Kunyah (patroninymic)
Menurut Luois Ma’luf (1986) dalam Munjid kunyah adalah bagian dari alam yang diawali dengan kata Abu/Abi (ayah), ummu/ummi (ibu), ibn (anak laki-laki), bint (anak perempuan) akhu (saudara laki-laki) dan ukhti/ukhtu (saudara perempuan). Sheniti (1961) menyebut dua yang pertama sebagai kunyah dan ibn dan bint sebagai nasab. Nasab berarti nama yang menunjukkan keturunan.
Contoh dari kunyah :
Ummu Qalsum
Hasan Ibn Sabit
Fatimah Binti Muhammad
Ahmad Ibn Hanbal
3.        Laqab
Laqab adalah nama nama panggilan yang bukan nama diri dan mengandung arti celaan atau pujian untuk yang memiliki nama (Ma’luf, 1986). Muhammad Ismail Ibrahim sebagaimana dikutip oleh Kailani Eryono (1985) mengemukakan bahwa laqab merupakan nama tambahan yang dimaksudkan untuk memperkenalkan diri, sebagai gelar kehormatan, sebagai julukan yang mengandung celaan, tetapi yang terakhir tidak disukai dan dilarang pemakaiannya pada masa sesudah Islam. Adapun Jenis Laqab menurut Mahmud Sheniti (1961) :
a.        Laqab resmi yang menunjukkan pekerjaan (official laqabs)
Laqab ini berhubungan dengan pekerjaan atau profesi dan jabatan dari seseorang. Laqab jenis ini terutama berkembang pesat pada masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Pada masa Dinasti Abbasiyah, pemerintah secara resmi mempergunakan nama-nama laqab untuk pekerjaan di lingkungan kerajaan seperti al-Qadi (hakim), al-Katib (sekretaris), al-Khayyat (tukang jahit), an-Najjar (tukang kayu). Laqab juga banyak diambil dari bahasa Persia dan Yunani seiring dengan pesatnya pengaruh kebudayaan dan pemikiran Yunani pada masa tersebut.
b.        Na’at (julukan yang menunjukkan status sosial)
Na’t adalah laqab kehormatan yang berkaitan dengan status sosial seseorang. Status sosial ini dapat menyangkut tingkat kekerabatan dengan Nabi Muhammad seperti Sayyid, Habib, atau berhukungan dengan kepakaran dan kesalihan seperti Imam, al-Syaikh. Nama-nama yang menunjukkan kehormatan ini tidak diberikan kepada sembarangan orang, tetapi orang-orang tertentu yang dianggap luar biasa.
c.         Khitab (julukan yang menunjukkan penghargaan)
Khitab merupakan gelar kehormatan yang bentuknya merupakan persenyawaan dua kata yang biasanya bagian kedua berupa kata al-din, seperti Fakhr al-Din, Imad al-Din dan sejenisnya. Terdapat usaha untuk mengklasifikasikan jenis laqab ini menurut golongan pekerjaan, misalnya Rukn a-Din untuk golongan tentara, Siraj al-Din untuk hakim, dan sebagainya, tetapi karena luasnya model nama seperti ini dan bebasnya dalam penentuan khitab ini menyebabkanb usaha pengklasifikasian tersebut sukar untuk menemukan pola yang taat azas. Terlebih lagi, pada masa sekarang ini nama-nama terebut telah banyak dipakai sebagai ism atau nama diri.
d.        Laqab Nisbah (Atributtive laqab)
Laqab jenis ini berhuhubungan dengan asal usul geografis, suku dan leluhur dari yang diberi laqab. Biasanya tersusun dari kata sala dengan akhiran dua huruf ya dengan atau tanpa artikel al. Bila ditransliterasi ke huruf latin, maka bentuknya berupa kata sal dengan akhiran huruf i. Contoh Baghdad menjadi Baghdadi, Samarkand menjadi Samarkandi, Banjar menjadi Banjari.
E.       Pola umum nama Arab
Dalam pola umum nama Arab mempunyai dua kelompok yaitu nama Arab klasik (kuno), dan nama Arab modern.
1.        Nama Arab klasik
Pola nama arab menurut Tibbets sebagaiman dikutip oleh Zulfikar zen yaitu “Nama arab klasik terdiri dari beberapa unsur tertentu yang pada umumnya tetap urutannya. Nama pertama biasanya adalah khitab (nama gelar kehormatan).. unsur kedua adalah kunyah (nama yang menunjukan hubungan kekeluargaan)…kemudian ism (nama diri)..., diikuti nama ayah dan kakek, masing-masing didahului ibn (anak diri)…setelah unsur ini terdapat nisbah.. laqab atau julukan dapat dibentuk seperti unsure-unsur terdahulu dan bisa terdapat di bagian mana saja dari nama itu.” [4]
Contoh pola nama arab seperti yang ditemukan Tibbet tersebut:
Fakhr ad-Din   abu ‘Abbas   Muhammad  ibn ‘Abdullah  al-Misri  al-Katib
Khitab          kunnyah            ism                nasab              nisba      laqab
2.        Nama arab Modern
Setelah abad ke 17 M. Negara-negara Arab mulai berhubungan dengan kebudayaan asing terutama Inggris dan Perancis serta Negara-negara asing lainnya. Kontak dengan kebudayaan asing ini menyebabkan terjadinya pertukaran budaya. Disisi lain sangat besar pengaruhnya terhadap pola nama Arab. Mahmud Sheniti sebagaimana dikutip oleh Zulfikar Zen, mengungkapkan bahwa “Pola nama di Negara-negara yang berbahasa Arab berbeda. Sering kali pola nama Arab tradisional ditinggalkan dan nama-nama itu hanya terdiri dari nama diri diikuti satu atau dua unsur lain, yang pertama biasanya nama ayah dan yang kedua mungkin nama kakek, atau mungkin juga nisba.”
Contoh nama Arab modern:
Taha Husyain  
Ism     ism

Ahmad Zaki Yamani
  ism        ism    nisba

3.        Pola-pola nama arab menurut Kailani dapat dikelompokan menjadi empat yaitu:
a.        Nama yang menggunakan nasab, tanpa laqab dan nisbah
Pola nama ini berasal dari zaman tradisi lisan, yang memaksa orang menghafal nama seseorang beserta nama pada tingkat kekerabatan yang lebih tinggi. Bentuk nama ini terutama terdapat pada golongan nama Arab kuno. Namun demikian, di beberapa tempat masih digunakan pola ini.
1)        Ism + nasab
Contoh: Muhammad ibn ‘Abd al-Wahab
Ism nasab

2)        Kunyah + ism + nasab
Contoh: Abu Yusuf Ya’qub ibn Ibrahim
Kunyah ism nasab
Abu Muhammad Abdullah ibn Ahmad

b.        Nama yang menggunakan nisbah, tanpa laqab
Nisbah telah digunakan pada golongan Arab kuno juga masih digunakan pada golongan nama Arab modern.
1)        Ism + nisbah
Contoh:
Amin al-Khawli
Ism nisbah


Muhammad Bayumi
Ism nisbah
Kadang-kadang dalam sebuah nama terdapat beberapa ism (yaitu nama diri orang tua), dan kadang-kadang terdapat beberapa nisbah.
Contoh:
Ali Ahmad Al-Jurjawi
Ism ism nisbah

Abd al-Hadi Naja al-Abyari al-Misri
Ism ism nisbah nisbah

2)        Kunyah + ism + nisbah
Contoh:
Abu Mansur Abd al-Qadir al-Baghdadi
Kunyah ism nisbah

Abu Abdullah Muhammad al-Razi
Kunyah ism nisbah

3)        Ism + nasab + nisbah
Contoh:
Muhammad ibn Idris al-Syafi’i
Ism nasab nisbah

Muhammad ibn Ismail al-Bukhori
Ism nasab nisbah

4)        Kunyah + ism + nasab + nisbah
Contoh:
Abu Hayyan Ali ibn Muhammad al-Tawhidi
Kunyah ism nasab nisbah

Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali
Kunyah ism nasab nisbah

c.         Nama yang menggunakan laqab
Seperti halnya nisbah, laqab telah digunakan pada golongan nama Arab kuno, dan tetap digunakan pada golongan nama Arab modern. Pola yang termasuk dalam kelompok ini adalah:
1)        Ism + laqab
Contoh:
Sa’id al-Najjar
Ism laqab

2)        Ism + nasab + laqab
Contoh:
‘Amr ibn Bahr al-Jahiz
Ism nasab laqab

3)        Ism + nasab + laqab + nisbah
Contoh:
Muhammad ibn Muhammad al-Khatib al-Ishfahani
Ism nasab laqab nisbah

Unsur laqab seringkali ditunjukkan dengan kata al-ma’ruf bi, al-masyhur bi, al-Syahir, dan yu’raf bi, yang artinya lebih dikenal dengan. Dalam hal ini laqab merupakan unsur terakhir
4)        Kunyah + ism + nasab + nisbah + laqab
Contoh:
Abu Bakr Ahmad ibn ‘Ali al-Razi al-ma’ruf bi al-Jassas
Kunyah ism nasab nisbah laqab
d.        Nama yang tanpa menggunakan nasab, nisbah, dan laqab
Bentuk nama ini hanya terdiri dari ism atau beberapa ism. Ism yang disebut pertama adalah nama dirinya, dan ism yang disebutkan selanjutnya menunjukkan nama pada tingkat kekerbatan yang lebih tinggi.
Bentuk nama ini terutama terdapat pada golongan nama Arab modern, dan serupa dengan bentuk nama Barat sekalipun tidak menggunakan nama keluarga.
Pola nama yang termasuk dalam kelompok ini adalah:
1)        Ism atau beberapa ism
Contoh:
Sabiq
Qutub
Thaha Husyn
2)        Kunyah + ism
Bentuk ini sudah jarang digunakan, tetapi bentuk kunyah sering digunakan sebagai nama diri.
Contoh:
Abu Tamim Haydarah
Kunyah ism

Bentuk-bentuk nama pada setiap kelompok dari keempat kelompok tersebut di atas, seringkali didahului dengan gelar kehormatan yang berupa na’at dan khitab.
Contoh:
Sayyid Sabiq
Na’t ism
F.       Model-model Penentuan tajuk utama nama Arab
Nama pengarang merupakan salah satu data bibliografis yang diposisikan sebagai tajuk entri bibliografis untuk keperluan penelusuran bahan pustaka melalui pengarang (penanggung jawab) bahan pustaka. Dalam posisi sebagai tajuk, penulisan atau susunan nama pengarang sering berbeda dengan penulisan atau susunannnya pada bahan pustaka.
1.        Menurut ALA
Dalam peraturan ALA membedakan nama arab sebelum dan sesudah tahun 1900 M. Kata utama nama Arab, ditetapkan dalam Ism (nama diri), sesuai dengan pasal 64 American library Association, cataloging rules for Author and title entries 1949, Chicago hal 113-4 yaitu “bagi penulis Arab, Parsi dan Turki sampai kira-kira tahun 1900, yang hidup di Negara-negara Islam yang menulis sebagian besar dalam bahasa asli mereka, kata utama ditentukan pada nama kecil (nama diri) digabung dengan nama keturunan (yang terakhir didahului dengan kata “ibn”, yaitu “anak dari” dalam hal tertentu “akhu” yaitu “saudara kandung dari” semua itu ditambah dengan nama keluarga dan nama julukan yang biasanya berasal dari tempat kelahiran atau tempat tinggal seseorang (nisbah), pekerjaan, kelainan fisik, (jasmani), dsb.
Acuan dibuat dari nama yang tidak dijadikan kata utama.
Contoh : Muhammad Ibn Yusuf, Abu Umar al-Kindi
Acuannya :
x Abu ‘Umar Muhammad Ibn Yusuf al-Kindi
x Al-Kindi, Abu ‘Umar Muhammd ibn Yusuf
Pengecualian apabila ditemukan pengarang terkemuka yang namanya lebih dikenal bukan pada ism, kata utamanya ditetapkan pada nama yang dikenal tersebut. Hal ini  Sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 64 B American library Association, cataloging rules for Author and title entries 1949 hal 113-4.
Contoh : Abu al-‘Ala
Acuannya :
x Ahmad ibn Abdullah, Abu al-‘Ala al-Ma’arri
x al-Ma’arri, abu al-‘Ala, Ahmad ibn Abdullah  
Nama setelah tahun 1900 M, kata utama ditetapkan pada bagian akhir nama tersebut.
Contoh :
Nasr, Yusuf
x Yusuf Nasr
2.        Menurut Sheniti
Mahmud Sheniti dalam kertas kerjanya pada konferensi internasional tentang prinsip-prinsip katalogisasi di Paris pada tahun 1961. Mengemukakan bahwa untuk nama pengarang arab kuno kata utamanya harus pada bagian nama yang paling dikenal. Sebagaimana yang disebutkan Zulfikar zen bahwa “Bagi pengarang Arab kuno kata utama ditentukan pada bagian nama yang paling dikenal, yang disebut Shuhra. Sering kali nama ini adalah suatu nisba. Hal ini dapat diketahui dari buku referens Arab dan dari buku standaar sejarah kasusastreraan Arab.”
Contoh:
Abu al-Hasan ‘Ali ibn Isa ibn ‘Ali al-Rammani al-Mu’tazili
Kata utama: al-Rammani al-Mu’tazili, Abu al-Hasan ‘Ali ibn Isa ibn ‘Ali
Untuk nama-nama Arab modern, kata utama ditentukan pada bagian akhir nama itu.
Contoh:
Nama: ‘Abbas Mahmud al-‘Aqqad
Kata utama: al-‘Aqqad, ‘Abbas Mahmud
Pengecualian apabila pengarang tersebut lebih dikenal pada bentuk nama yang lain. Maka Shuhra atau nama paling dikenal ituharus dijadikan kata utama.
3.        Menurut LA
Kata utama nama Arab ditetapkan pada nama diri (ism) sedangkan acuan dibuatkan dari bagian nama yang tidak dijadikan kata utama. Sebagaimana yang ditulis oleh Zulfikar Zen, dikutip dari library association cataloging rules: author and title entries. 1976. Hal. 15 disebutkan bahwa “ Bagi penulis arab dan penulis lainnnya yang hidup di Negara-negara islam dan menjalankan ajaran islam kata utama ditentukan pada nama diri, diikuti nama-nama yang menunjukan hubungan kekeluargaan, (digabungkan dengan kata abu, ibn dan lain sebagainya). Dan denan berbagai nama khusus, atau dalam hal-hal tertentu dihubungkan dengan kehidupan dan wataknya…Acuan dibuatklan dari unsure-unsur nama itu.
Contoh:
Nama: Abu Bakar Muhammad ibn zakarya al Razi
Kata utama: Muhammad ibn zakarya, Abu Bakar al Razi
Acuan: x Abu Bakar
x al Razi
4.        Menurut AACR
Aturan tentang penentuan tajuk nama pada AACR2 edisi revisi 2002 diatur pada Bagian II pasal 22.22 di bawah tajuk Nama dalam alfabet Arab. Cakupan dari aturan AACR ini adalah untuk nama-nama yang asli ditulis dalam alfabet Arab yang tidak mengandung nama keluarga (surname) atau nama yang berfungsi sebagai nama keluarga. Bila terdapat keraguan, maka anggaplah nama yang aktif pada abad ke-20 mempunyai nama keluarga, sedangkan generasi sebelumnya tidak memiliki nama keluarga.
Secara umum, AACR mengatur bahwa entry point untuk nama-nama yang aktif sebelum abad ke-20 di bawah elemen atau kombinasi elemen nama di mana orang tersebut lebih dikenal. Untuk mengetahui seseorang pengarang lebih dikenal dengan nama apa, disarankan digunakan sumber referensi. Bila tidak ada petunjuk yang memadai, maka tajuk diletakkan pada elemen pertama.
Bila nama pengarang terdiri dari beberapa unsur nama, maka letakkan nama di bawah unsur yang paling dikenal. Letakkan unsur yang lain dengan urutan sebagai berikut: khitab, kunyah, ism, patronymic, nama-nama lain. Beri tanda koma setelah tajuk entri.
Contoh :
a.        Khitab
Sadr al-Din al-Qunawi, Muhammad ibn Ishaq
x Muhammad ibn Ishaq al-Qunawi, Sadr al-Din
x al-Qunawi, Sadr al-Din Muhammad ibn Ishaq
b.        Kunyah
Abu al-Barakat Hibat Allah ibn ‘Ali
x Hibat Allah ibn ‘Ali, Abu al-Barakat
c.         Ism (nama diri)
Taha Husayn
x Husayn, Taha
d.        Patronymic
Ibn Hisyam, ‘Abd al-Malik
x ‘Abd al-Malik ibn Hisyam
e.         Nama Lain
Laqab
al-Jahiz, ‘Amr ibn Bahr
x ‘Amr ibn Bahr al-Jahiz
Nisbah
al-Bukhari, Muhammad ibn Isma’il
x Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari
Takhallus
Qa’ani, Habib Allah Shirazi
x Habib Allah Shirazi Qa’ani
5.        Menurut Kaelani
Berdasarkan kajian terhadap unsur, pola dan penentuan kata utama arab yang pernah ada baik sebelum AACR maupun AACR sendiri, serta didasarkan pada kemyataan yang dialami oleh beberapa perpustakaan di Indonesia, maka Kailani Eryono ber[endapat sebagai berikut:
“Mengingat bahwa AACR adalah suatu peraturan katalogisasi yang bersifat internasional, maka pedoman mengenai cara penentuan kata utama nama Arab untuk perpustakaan di Indonesia dapat disusun berdasarkan AACR pada pasal 54 tersebut dengan suatu modifikasi. Modifikasi ini, diperlukan menngungat bahwa hanya dengan menggunakan prinsip penentuan pada bagian nama yang lebih terkenal semata-mata, sulit untuk dilaksanakan, karena sulitnya mengenali bagian nama yang lebih dikenal dan masih lengkapnnya sumber-sumber referens mengenai nama-nama Arab di Indonesia.”[5]
Cara penelusuran kata utama nama Arab yang diususlkan Kaelani adalah sebagai berikut:
a.         Pada prinsipnya penentuan kata utama nama Arab adalah pada bagian nama yang lebih dikenal, sesuai dengan prinsip AACR. Bila tidak diketahui bagian mana yang lebih dikenal tesebut.
b.        Nama yang menggunakan laqab. Kata utama ditetapkan pada laqab tersebut. laqab itu dapat berupa nama  keluarga, gelar profesi, nama samara, dan lain sebagainya.
Contoh:
Nama Sulayman ibn Umar al-‘Ajili, al-Syafi’i al- Syahir bi al-Jamal
Kata utama: al-Jamal, Sulayman ibn Umar al-‘Ajili, al-Syafi’i al- Syahir
c.         Nama yang menggunakan nisbah tanpa laqab. Kata utama ditetapkan pada nisbah tersebut. kecuali jika diketahui bagian lain yang lebih dikenal.
Contoh:
Nama: Amin al-Akhawli
Kata utama: al-Akhawli, Amin
Kecuali : Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd al Qurtubi
Kata utama :  Ibn Rusyd al Qurtubi, Muhammad ibn Ahmad
d.        Nama yang menggunakan nasab, tanpa nisbah dan laqab. Kata utama ditetapkan pada ism (nama diri) kecualai bila diketahui bagian lain yang lebih dikenal
Contoh:
Malik ibn Anas
Kata utama: Malik, ibn Anas
Kecuali: ‘Ali ibn Ahmad ibn Hazm
Kata utama pada ibn Hazm, ‘Ali ibn Ahmad
e.         Nama yang tidak menggunakan nasab, nisbah, maupun laqab, kata utam ditetapkan pada bagian nama kata utama ditetapkan pada bagian nama yang terakhir. Acuan dibuat dari bagian nama yang tidak dijadikan kata utama apabila perlu.
Contoh:
Muhammad ‘Abduh
Kata utama: ‘Abduh, Muhammad
Taha Husayn
Kata utama pada: Husayn, Taha
x Taha Husayn
Dalam penentuan kata utama nama Arab, khitab dan na’at tidak digunakan sebagai kata utama, tetapi apabila perlu dapat dibuat acuan.
Contoh:
Sayyid Sabiq
Kata utama: Sabiq, Sayyid
x Sayyid Sabiq

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Faliti Yunus. “Pengolahan bahan pustaka berbahasa arab pada perpustakaan Masjid Istiqlal Jakarta.” Skripsi S1 Jurusan ilmu Perpustakaan, Fakultas adab dan humaniora UIN Syarif Hidaatullah Jakarta, 2009.  
Dadan Darusman. “Permasalahan katalogisasi deskriptif kitab kuning pada perpustakaan di Indonesia.” Skripsi S1 Jurusan ilmu Perpustakaan, Fakultas adab dan humaniora UIN Syarif Hidaatullah Jakarta, 2005.
Departemen Agama RI. “Pedoman transliterasi Arab-Latin: Keputusan bersama Mentri Agama dan mentri P dan K nomor: 158 tahun 1987; nomor: 0543/ u / 198.” Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, proyek pengkajian dan pengembangan lektur Pendidikan Agama, 2003.
J.N.B. Tairas dan Soekarman. Peraturan katalogisasi Indonesia: deskripsi bibliografi (ISBD), penentuan tajuk entri, judul seragam. Jakarta: Pusat pembinaan perpustakaan Departemen pendidikan dan kebudayaan, 1986.
L. K. Somadikarta. Titik akses dalam organisasi di perpustakaan. Jurusan ilmu Perpustakaan Universitas Indonesia, terbitan No.2, 1998.
M. Zaka Al Farisi. Pedoman penerjemahan arab Indonesia. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2011.
M. Zuhdi. Buku Pedoman perpustakaan UIN Syarif Hidaatullah Jakarta. Jakarta: Perpustakaan UIN Syarif Hidaatullah Jakarta, 2009.
Miswan. “Klasifikasi dan katalogisasi: sebuah pengantar.”  http://tartojogja.files.wordpress.com. Akses 5 Februari 2012 
Muh. Kailani Eryono. Daftar tajuk subjek Islam dan sistem klasifikasi Islam: adaptasi dan perluasan DDC seksi Islam. Jakarta: Puslitbang Lektur Agama Badan Litbang Agama Departemen Agama, 1999.
Muh. Kailani Eryono. Pengolahan bahan pustaka. Jakarta: Universitas Terbuka, 1999.
Perpustakaan Nasional RI. Klasifikasi Islam: adaptasi dan perluasan notasi 297 Dewey Decimal Clasification (DDC). Jakarta: Perpustakaan Nasional RI, 2005.
Puji R. Soekarno. “Authority control untuk nama-nama arab.” http://cindoprameswari.blogspot.com. Akses 7 Maret 2012
Rahayuningsih. Pengelolaan perpustakaan. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007.  
Rizal Saiful Haq. “Transliterasi aksara arab dalam pengkatalogan.” Jurnal al-Turas. Vol. 11. No. 3 September. Hal. 242-257, 2005.
Soetimah. Perpustakaan kepustakawanan dan pustakawan. Yogyakarta: Kanisius, 1992.  
Sulistyo Basuki. Pengantar ilmu perpustakaan. Jakarta: Gramedia Pustaka utama, 1993.
Sutarno N. S. Kamus perpustakaan dan informasi. Jakarta: Jala, 2008.  
Wiji Suwarno. Dasar- dasar ilmu perpustakaan. Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2010.
Yaya Suhendar. Pedoman katalogisasi: cara mudah membuat katalog perpustakaan. Jakarta: Kencana. 2007.

Yunus Winoto. Dasar- dasar kaltaog dan Klasifikasi. Diktat kuliah program studi ilmu Perpustakaan Fakultas ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, 1998.


[1] Muh. Kailani Eryono. Pengolahan bahan pustaka. (Jakarta: Universitas Terbuka, 1999)    h. 2
[2] Yaya Suhendar, Pedoman katalogisasi: cara mudah membuat katalog perpustakaan. (Jakarta: Kencana, 2007) h. 2
[3] Muh. Kailani Eryono, Pengolahan bahan pustaka, (Jakarta: Universitas Terbuka) h. 32-33
[4]  Dadan Darusman. Permasalahan katalogisasi deskriptif kitab kuning pada perpustakaan di Indonesia, 2005 (Skripsi S1 Jurusan ilmu Perpustakaan, Fakultas adab dan humaniora UIN Syarif Hidaatullah Jakarta) h. 55
[5] Dadan Darusman. Permasalahan katalogisasi deskriptif kitab kuning pada perpustakaan di Indonesia, (Skripsi S1 Jurusan ilmu Perpustakaan, Fakultas adab dan Humaniora UIN Syarif Hidaatullah Jakarta. 2005) h. 67-68