Rabu, 09 Mei 2012

Kegiatan pengolahan bahan pustaka

di perpustakaan Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pengolahan atau “processing” adalah pekerjaan yang diawali sejak koleksi diterima di perpustakaan sampai dengan penempatan di rak atau di tempat tertentu yang telah disediakan. Untuk kemudian siap dipakai oleh pemakai. [1]
1.        Inventarisasi
Menurut Rohanda inventarisasi adalah “Kegiatan pencatatan data-data fisik buku kedalam sarana pencatatan, yang berupa lembaran lepas, kartu, maupun buku dan sering disebut buku induk. Setiap eksemplar bahan pustaka mempunyai satu nomor induk. Adapun informasi lain yang perlu dicatat dalam buku induk adalah judul, pengarang, asal perolehan, nomor induk, bahasa, jumlah eksemplar, dan judul.[2]
Adapun langkah-langkah menginventarisasi buku adalah :
a.        Pemberian stempel buku.
Semua buku yang masuk kedalam perpustakaan harus diberi stempel. Di perpustakaan Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta harus ada tiga stempel melekat pada bahan pustaka (buku)
·           Stempel inventaris
ASAL / TANGGAL    :
NO INDUK                 :
NO PANGGIL            :

stempel ini dicap pada halaman yang memuat daftar bibliografi atau dibalik halaman judul dari sebuah buku. Stempel ini dimaksudkan dari mana buku berasal apakah dari pembelian, hadiah, hibah atau yang lainnya dan tanggal pengadaannya. No induk biasanya merupakan no. barcode buku sedangkan No. panggil berdasarkan klasifikasi.
·           Stempel menandakan kepemilikan

MILIK PERPUSTAKAAN
FAKULTAS SYARI’AH
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA


Stempel inin untuk menandakan bahwa bahan pustaka merupakan milik perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Stempel ini di cap pada halaman judul dan di bagian ahir dari sebuah buku. 
·           Stempel identitas
Stempel identitas perpustakaan syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di cap pada halaman rahasia, yang diletakan pada halaman 29 dari tiap-tiap bahan pustaka. Bentuk stempel ini berbentuk bulat dengan logo UIN Jakarta dan tulisan Universitas Negri Syarif Hidayatullah Jakarta dan perpustakaan Syariah & Hukum.
b.  Pemberian barcode
Barcode adalah: kode- kode yang menunjukan data-data bibliografi buku. Digunakan oleh perpustakaan yang pelayanan sirkulasinya menggunakan program computer. Barcode dibaca dengan menggunakan barcode reader. [1] Nomor barcode berurutan sesuai dengan buku yang masuk ke perpustakaan dan diolah oleh perpustakaan.

1.        Deskripsi Bibliografi
Deskripsi bibliografis adalah kumpulan informasi bibliografis dari suatu buku yang meliputi nama pengarang, judul edisi, kota terbit, nama penerbit, tahun terbit, keterangan fisik (ukuran tinggi buku dan jumlah halaman), keterangan seri, ISBN dan keterangan lain yang dianggap perlu dan sering menjadi bahan informasi bagi pengguna jasa perpustakaan dalam mencari dan menentukan bahan pustaka yang dibutuhkan.[2]
Deskripsi bibliografi dilakukan setelah semua buku yang akan diolah diberi stempel perpustakaan. Kegiatan pendeskripsian ini, dengan menuliskan pada kertas kecil dari daerah deskripsi bibliografi yang meliputi 8 daerah deskripsi seperti daerah judul dan pernyataan tanggung jawab (kepengarangan), Daerah edisi, Daerah rincian khusus (untuk buku tidak digunakan), Daerah keterangan fisik (kolasi), Daerah judul seri, Daerah catatan, Daerah ISBN (International Standard Book Book Number) dan harga. Pencatatan pada kertas kecil ini, dimaksudkan untuk mempermudah memasukan data ke komputer.
2.        Penentuan tajuk subjek
Penentuan tajuk subjek adalah suatu kegiatan menentukan subjek (isi) dalam suatu bentuk kata. Tajuk subjek buku dapat ditentukan dari judul, daftar isi, pendahuluan atau timbangan buku. [3] Untuk menentukan tajuk subjek buku, biasanya dipergunakan suatu pedoman. Koleksi Perpustakaan Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta meliputi koleksi dalam bidang keislaman dan koleksi umum. Oleh karena itu, perpustakaan menggunakan
a.         Daftar tajuk subjek perpustakaan nasional, terbitan perpustakaan nasional RI untuk subjek-subjek umum.
b.        Daftar tajuk subjek Islam adaptasi dan perluasan DDC seksi Islam. Terbitan Puslitbang Lektur Agama Badan Litbang Agama Departemen Agama untuk penentuan subjek-subjek Islam.
3.        Penentuan notasi klasifikasi
Setelah suatu subjek buku ditentukan, selanjutnya ditetapkan no klasifikasi yang tepat bagi buku tersebut. Towa P. Hmakotrda dan J.N.B. Tairas (1995) mengatakan bahwa klasifikasi adalah pengelompokan yang sistematis daripada sejumlah obyek, gagasan, buku atau benda-benda lain ke dalam kelas atau golongan tertentu berdasarkan ciri-ciri yang sama.[4] Didalam suatu koleksi dipergunakan penggolongan berdasarkan beberapa ciri tertentu (fisik, bentuk, jenis koleksi, dsb).
Setiap bagan klasifikasi menggunakan sistem simbol untuk menetapkan kelas. Simbol yang berfungsi untuk menunjukkan subyek serta hubungan antar subyek disebut dengan notasi. Biasanya notasi berupa angka atau huruf atau gabungan keduanya yaitu angka dan huruf. Misalnya, klasifikasi Persepuluhan Dewey menggunakan angka arab. Ada beberapa doman yang biasa digunakan oleh perpustakaan yaitu DDC, UDC, LC dll. Perpustakaan Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menggunakan 2 pedoman yaitu:
a.         Pedoman DDC (Dewey Decimal Clasification). DDC merupakan sistem klasifikasi yang populer dan paling banyak pemakainya. Klasifikasi ini dalam pengembangannya menggunakan sistem desimal angka arab sebagai simbol notasinya. Klasifikasi persepuluhan Dewey terdiri dari 10 kelas utama, 100 divisi, dan seribu seksi.
b.        Pedoman Klasifikasi Islam adaptasi dan perluasan DDC seksi Islam terbitan Puslitbang Lektur Agama Badan Litbang Agama Departemen Agama untuk penentuan subjek-subjek Islam dengan ciri (2x..).
4.        Pelabelan
Setelah buku diklasifikasi, selanjutnya adalah pelabelan pada buku. Menurut Suwarno (2010 : 140) Pelabelan adalah pemasangan label pada punggung buku yang berisi call number sesuai dengan yang tertulis dalam Katalog. Pelabelan ini sebaiknya diketik pada kertas label putih, atau pada kertas HVS biasa yang digunting satu ukuran (seragam), sesuai dengan kebutuhan perpustakaan.[5]
Label didasarkan pada nomor klasifikasi buku, tiga huruf dari nama pengarang utama dan satu huruf pertama dari judul dengan huruf kecil.
Contoh: label di perpustakaan Syariah dan Hukum
PERPUSTAKAAN FSH
001.5
SEV
P
c.4

001.5    :  untuk notasi klasifikasi
      SEV   : untuk 3 huruf pertama dari nama pengarang utama dari tajuk entri utama nama orang SEVILLA, Consuelo G.
P          : untuk satu huruf pertama dari judul buku Pengantar metode penelitian.
c.4       : untuk no. urutan jumlah copian eksemplar buku dalam satu judul.
Pada perpustakaan Syariah dan Hukum UIN Jakarta, label ditempelkan pada punggung buku dengan ketinggian + 3 cm dengan posisi buku berdiri.
5.        Memasukan data ke komputer
Data yang dimasukkan ke komputer adalah data yang sudah dideskripsikan sebelunya yang dicatat dalam lembaran/ kertas kecil yang diselipkan pada setiap judul buku yang meliputi deskripsi bibliografi yang meliputi 8 daerah deskrisi, tajuk subjek yang sudah ditentukan, call number dan data-data lainnya yang diperlukan dalam memasukkan data ke komputer.tertera pada gambar berikut:
Data tersebut untuk memenuhi kebutuhan baik pengguna, maupun pustakawan dalam menelusur koleksi yang dimilki oleh perpustakaan yang nantinya disebut OPAC perpustakaan yang menggunakan sistem TULIS.
6.    Shelving
Shelving atau penyusunan buku di rak adalah kegiatan menempatkan buku-buku yang sudah selesai diolah dan telah dilengkapi dengan label di dalam rak/almari. Buku diatur sesuai dengan sandi buku yang merupakan kode kelompok subjek/isi buku. Dengan demikian dalam penyusunan buku di rak selalu diperhatikan nomor panggil buku karena fungsinya sebagai petunjuk tempat dan nomor urut dimana buku harus ditempatkan.[1]
Untuk penyusunan buku di rak, perpustakaan Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menggunakan urutan kelas dari yang terkecil hingga terbesar agar mempermudah pengguna dalam mencari buku menurut no. klasifikasi. Penempatan juga disesuaikan dengan letak rak untuk notasi klasifikasi yang diterapkan yaitu klasifikasi yang berdasarkan DDC untuk koleksi umum, sedangkkan klasifikasi yang didasarkan pada klasifikasi dan subjek Islam untuk koleksi dengan subjek Islam.


[1] Dedek Iskandar. 2009. Pengolahan bahan pustaka buku pada perpustakaan Universitas Muslim Nusantara (UMN) Medan. Kertas karya program D III Perpustakaan, Fakultas sastra Universitas Sumatera utara. http://Repository.usu.ac.id  akses 12 januari 2012.




[1] Rahayuningsih. 2007. Pengelolaan perpustakaan. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hal. 74
[2]  Yaya Suhendar. 2007. Pedoman katalogisasi: cara mudah membuat katalog perpustakaan. Jakarta: Kencana. Hal.14
[3] Dewi Maharani. 2004. Tinjauan terhadap sistem pengolahan bahan ppustaka bahan pustaka buku pada Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BAPERASDA) Medan. Kertas karya program D III Perpustakaan, Fakultas sastra Universitas Sumatera utara. Hal.12 http://Repository.usu.ac.id  akses 12 januari 2012
[4] Gatot Subroto. S.Kom. 2009. klasifikasi bahan pustaka.
[5] Dedek Iskandar. 2009. Pengolahan bahan pustaka buku pada perpustakaan Universitas Muslim Nusantara (UMN) Medan. Kertas karya program D III Perpustakaan, Fakultas sastra Universitas Sumatera utara. http://Repository.usu.ac.id  akses 12 januari 2012.






[1] Sutarno. N.S. Manajemen perpustakaan. 2006. Jakarta: Sagung seto. Hal.179
[2] Dedek Iskandar. 2009. Pengolahan bahan pustaka buku pada perpustakaan Universitas Muslim Nusantara (UMN) Medan. Kertas karya program D III Perpustakaan, Fakultas sastra Universitas Sumatera utara. http://Repository.usu.ac.id  akses 12 januari 2012.

Senin, 07 Mei 2012

Definisi Literasi informasi dari berbagai organisasi, 
Negara dan Ilmuan
Definisi literasi informasi sangat banyak dan terus berkembang sesuai dengan kondisi waktu dan perkembangan di lapangan. Amerika adalah tempat lahirnya istilah dan konsep information literacy. Pada tahun 1974 Paul Zurkowski menggunakan istilah information literacy untuk pertama kali dalam makalah yang diajukannya kepada U.S. National Commission on Libraries and Information Science (NCLIS). Menurutnya “People trained in the application of information resources to their work can be called information literates. They have learned techniques and skills for utilizing the wide range of information tools as well as primary sources in moulding information solutions to their problems” (Behrens, 1994; Bruce, 1997a)[1] hal ini berarti bahwa orang yang terlatih untuk menggunakan sumber-sumber informasi dalam menyelesaikan tugas mereka disebut orang yang melek informasi (information literate). Mereka telah mempelajari teknik dan kemampuan menggunakan alat-alat dan sumber utama informasi dalam pemecahan masalah mereka.
CILIP  “the UK Chartered Institute of Library and Information Professionals in 2003 mendefinisikan informasi literasi yaitu:
“Information literacy is knowing when and why you need information, where to find it, and how to evaluate, use and communicate it in an ethical manner.” [2] Literasi informasi adalah mengetahui kapan dan mengapa kita memerlukan informasi dimana kita menemukannya, dan bagaimana kita mengevaluasi, menggunakan dan mengkomunikasikannya dengan cara yang etis.
Definisi ini menyiratkan beberapa ketrampilan untuk menjadi melek informasi dibutuhkan  pemahaman tentang :
- kebutuhan untuk informasi
- sumber daya yang tersedia
- bagaimana menemukan informasi
- kebutuhan untuk mengevaluasi hasil
- bagaimana bekerja dengan atau mengeksploitasi hasil
- etika dan tanggung jawab penggunaan
- bagaimana berkomunikasi atau berbagi temuan 
- bagaimana mengelola temuan "(CILIP, 2003)
Periode 1983 – 1992 Pustakawan Amerika mulai membahas dan menyadari perlunya kemampuan atau keterampilan dalam information literacy. Ide tersebut segera mendunia dan mendapat tanggapan secara internasional. Berkembanglah definisi-definisi literasi dari berbagai Negara antar lain
Amerika Serikat
"To be information literate, a person must be able to recognize when information is needed and have the ability to locate, evaluate, and use effectively the needed information. Producing such a citizenry will require that schools and colleges appreciate and integrate the concept of information literacy into their learning programs and that they play a leadership role in equipping individuals and institutions to take advantage of the opportunities inherent within the information society." (American Library Association, Presidential Committee on Information Literacy, Final Report , January 10, 1989)
“Agar seseorang dikatakan memiliki keterampilan literasi informasi, ia harus mampu untuk menyadari kapan informasi diperlukan dan memiliki kemampuan untuk menemukan, mengevaluasi, dan menggunakan secara efektif informasi tersebut. Guna menghasilkan orang-orang demikian, maka sekolah dan perguruan tinggi menerapkan dan mengintegrasikan konsep literasi informasi ke dalam program pembelajaran dan mereka memerankan fungsi kepemimpinan dalam memperlengkapi individu dan institusi untuk mengambil kesempatan inherent ini dalam masyarakat informasi”
Australia
"Information literacy is an understanding and set of abilities enabling individuals to recognise when information is needed and have the capacity to locate, evaluate, and use effectively the needed information'." (CAUL, 2004)
“Literasi informasi adalah pemahaman dan kemampuan seseorang untuk menyadari kapan informasi diperlukan, menemukan, mengevaluasi, dan menggunakannya secara efektif.”
Inggris
"Information literacy is knowing when and why you need information, where to find it, and how to evaluate, use and communicate it in an ethical manner."
“Literasi informasi adalah mengetahui kapan anda memerlukan informasi, ke mana menemukannya, dan bagaimana mengevaluasi dan mengomunikasikannya secara etis.”
UNESCO
"Information Literacy encompasses knowledge of one's information concerns and needs, and the ability to identify, locate, evaluate, organize and effectively create, use and communicate information to address issues or problems at hand; it is a prerequisite for participating effectively in the Information Society, and is part of the basic human right of life long learning." (US National Commission on Library and Information Science, 2003)
"Literasi informasi mengarahkan pengetahuan akan kesadaran dan kebutuhan informasi seseorang, dan kemampuan untuk mengidentifikasi, menemukan, mengevaluasi, mengorganisasi dan secara efektif menciptakan, menggunakan, mengomunikasikan informasi untuk mencari solusi atas masalah yang dihadapi; juga merupakan persyaratan untuk berpartisipasi dalam masyarakat informasi, dan merupakan hak asasi manusia untuk belajar sepanjang hayat.
Komisi literasi informasi American Library Association (ALA) yang bertugas mengkaji peran informasi di dunia pendidikan, bisnis, pemerintahan, dan kehidupan sehari-hari dalam laporan akhirnya pada tahun 1989 menyimpulkan bahwa : Information literate people are those who have learned how to learn. They know how to learn because they know how knowledge is organized, how to find information and how to use information in such a way that others can learn from them. They are people prepared for lifelong learning, because they can always find the information needed for any task or decision at hand. (ALA, 1989, p.1)
”Orang yang berinformasi adalah mereka yang telah belajar bagaimana belajar. Mereka mengetahui bagaimana harus belajar karena mereka mengetahui organisasi pengetahuan, memahami cara menemukan informasi, dan menggunakan/ memanfaatkan informasi sehingga pihak lain dapat belajar darinya. Mereka adalah orang yang disiapkan untuk belajar sepanjang hayat karena mereka selalu dapat menemukan informasi yang diperlukan untuk melaksanakan tugas atau mengambil keputusan”.
Webber & Johnston define information literacy as an efficient and ethical information behaviour:
...information literacy is the adoption of appropriate information behaviour to obtain, through whatever channel or medium, information well fitted to information needs, together with critical awareness of the importance of wise and ethical use of information in society. (Webber & Johnston, 2002) ... Melek informasi adalah adopsi dari perilaku informasi yang tepat untuk memperoleh, melalui apa pun saluran atau media, informasi ini cocok untuk kebutuhan informasi, bersama dengan kesadaran kritis tentang pentingnya penggunaan yang bijaksana dan etis dari informasi dalam masyarakat. (Webber & Johnston, 2002)
Boekhorst (2003), dari Belanda, menemukan bahwa semua definisi dan deskripsi dari literasi informasi yang disajikan selama bertahun-tahun dapat diringkas dalam tiga konsep:
• Konsep TIK: melek Informasi mengacu pada kompetensi untuk menggunakan ICT untuk mengambil dan menyebarkan informasi.
• Informasi (ulang) konsep sumber: melek informasi mengacu pada kompetensi untuk menemukan dan menggunakan informasi secara mandiri atau dengan bantuan perantara.
• Konsep memproses informasi: melek informasi mengacu pada proses mengenali membutuhkan informasi, mengambil, mengevaluasi, menggunakan dan menyebarkan informasi untuk memperoleh atau memperluas pengetahuan. Konsep ini mencakup baik ICT dan informasi (kembali) sumber

Dari beberapa definisi di atas, maka pemahaman literasi informasi mengandung beberapa hal di bawah ini:
1. literasi informasi merupakan proses belajar bagaimana caranya belajar
2. keterampilan literasi informasi mencakup pemahaman dan kemampuan seseorang untuk:
o menyadari kapan informasi itu diperlukan
o menemukan informasi
o mengevaluasi informasi
o menggunakan informasi yang diperoleh dengan efektif
o mengkomunikasikannya dengan etis
3. keterampilan literasi informasi merupakan persyaratan untuk berpartisipasi dalam masyarakat berinformasi
Istilah Indonesia untuk information literate, Menurut kaidah tata bahasa Indonesia pembentukan kata salah satunya adalah dengan awalan ”ke” dan akhiran ”an”. Dengan demikian akan dihasilkan bentukan ”keliterasian informasi” yang diturunkan dari literasi informasi. Mengingat belum tercantumnya kata literasi sebagai lema dalam KUBI, ada pihak yang lalu menggunakan istilah melek huruf. Kata melek memang sudah menjadi salah satu lema dalam KUBI. Selanjutnya juga dicantumkan juga hubungannya dengan kata huruf menjadikannya istilah melek huruf. Dapat diduga bahwa istilah melek huruf lahir sebagai upaya mencari kebalikan (antonim) dari isitilah buta huruf. Istilah buta huruf memang dikenal lebih dahulu dibanding dengan istilah melek huruf. Terkenalnya istilah tersebut seiring dengan upaya pemerintah dalam memberantas buta huruf (illiteracy) dalam dasa warsa pertama pasca kemerdekaan.[3]
Literasi informasi Keaksaraan mencakup informasi mengenai informasi dari satu keprihatinan dan kebutuhan, dan kemampuan untuk mengidentifikasi, menemukan, mengevaluasi, dan mengatur secara efektif menciptakan, menggunakan dan mengkomunikasikan informasi untuk mengatasi isu-isu atau masalah di tangan, yang merupakan prasyarat untuk berpartisipasi secara efektif dalam Masyarakat Informasi, dan merupakan bagian dari hak asasi manusia belajar seumur hidup. "(US Komisi Nasional pada Ilmu Perpustakaan dan Informasi, 2003)[4]


[1] Information Literacy:  A Literature Review. www.learnhigher.mmu.ac.uk/research/InfoLit-Literature-Review.pdf akses 15 april 2011
[2] C. Basli. 2010. Report on current state and best practices in information literacy. Empatic (information competencies): Project funded by the European Commission  Under the Lifelong Learning Programme. http://www.empat-ic.eu akses 13 april 2011
[3] Blasius Sudarsono, MLS. Dkk. 2007. literasi informasi (information literacy) :Pengantar untuk perpustakaan sekolah. http//perpusdigital.sutomo-mdn.sch.id Akses 14 april 2011
[4] Trini Haryanti.Membangun Gerakan Literacy Informasi Masyarakat Seminar ”Membangun Jawa Timur Membaca” http//adln.lib.unair.ac.id/.../gdlhub-gdl-proc-2009-triniharya-10355-membangu-y.pdf  akses 15april 2011